Layaknya tamu tak diundang, seketika ingatan
itu muncul seakan merajamkan bayangan yang tak henti-henti meloading data dalam memori otakku secara random. Padahal, ingatan itu sudah aku
kubur sedalam inti bumi yang solid permukaannya selama lima tahun. Tiba-tiba
membuncah hanya karena seorang perempuan yang berperawakan kecil kurus dengan
rambut pendek sebahu di dekat perpustakaan. Perempuan itu tengah berbincang
dengan kedua temannya.
Seperti dibelenggu bola besi layaknya pesakitan, kakiku seakan berat melangkah karena merasa enggan untuk berpapasan dengannya. Tapi tidak ada jalan memutar selain jalan yang akan aku lalui itu. Ingin rasanya aku urungkan niat untuk meminjam buku ke perpustakaan, tapi tugas kalkulus mendesak batinku untuk segera menyelesaikannya sebelum dikumpulkan pada kelas kedua siang nanti. Rasa kepepet akan tugas pun mengalahkan rasa takut terhadap perempuan yang dulu pernah menjadi pujaan hatiku itu. Akupun memantapkan langkahku dengan tergopoh seraya menyembunyikan mukaku di balik tas gendongku.
Seperti dibelenggu bola besi layaknya pesakitan, kakiku seakan berat melangkah karena merasa enggan untuk berpapasan dengannya. Tapi tidak ada jalan memutar selain jalan yang akan aku lalui itu. Ingin rasanya aku urungkan niat untuk meminjam buku ke perpustakaan, tapi tugas kalkulus mendesak batinku untuk segera menyelesaikannya sebelum dikumpulkan pada kelas kedua siang nanti. Rasa kepepet akan tugas pun mengalahkan rasa takut terhadap perempuan yang dulu pernah menjadi pujaan hatiku itu. Akupun memantapkan langkahku dengan tergopoh seraya menyembunyikan mukaku di balik tas gendongku.
Brak! Aku menabrak
tong sampah hingga memburakan isinya. Spontan, anak-anak disekelilingku
menertawakanku tanpa ampun, bahkan ada yang terpingkal-pingkal melihat sampah
plastik yang berhasil mendarat di kepalaku. Sementara perempuan itu, setengah
celingukan mencari sumber kegaduhan diantara kerumunan orang yang asyik
menertawaiku. Akupun gelagapan membereskan sampah yang berserakan ditambah malu
tingkat dewa dan langsung bergegas masuk ke dalam perpustakaan.
*
Kejadian
tadi cukup membuat aku senewen sendiri dan membuyarkan konsentrasi untuk
menjawab soal differensiasi implisit
yang tak kunjung terisi satu soal pun. Disamping kurang paham dengan materi, di
sisi lain sulit untuk menangkis bayang-bayang perempuan itu yang selalu
menari-nari di benakku.
Semua ini bermula
ketika aku menginjak kelas 3 SMP, ketika aku mengikuti drama perjuangan untuk
memperingati hari pahlawan di sekolahan.
Waktu itu peranku
sebagai ajudan raja dan ratu. Ketika pak Riki, guru matematika sekaligus
pelatih drama, menyuruhku untuk mengambil kostum di ruang make up, tanpa sengaja aku menabrak adik kelasku yang selesai
berdandan layaknya seorang ratu. Mataku terbelalak takjub hingga tidak berkedip
sedikitpun, daya tarik yang luar biasa sampai-sampai tak kusadari pandanganku
sulit kupalingkan bak medan magnet yang saling tarik menarik hingga dia berlalu
meninggalkan bau parfum yang menggelayut di rongga hidungku.
Dia adalah Ina.
Selama ini aku tidak menyadari kalau Ina adalah bidadari yang turun dari
kahyangan, mozaik yang sempurna dari sang pencipta. Pemandangan luar biasa
hingga membuat hatiku luruh dan melayang.
Bahkan saat
pementasan digelar, dari awal hingga usai pementasan, tak henti aku memandangi
Ina. Semenjak itu baru ku sadari kalau aku tengah memasuki masa pubertas dimana
mulai tertarik terhadap lawan jenis, walaupun jauh tertinggal dari
teman-temanku yang sudah mengenal pacaran dari kelas 5 SD. Karena itulah
seringkali aku dijuluki “cupu” oleh teman-teman sekelas bahkan satu sekolahan,
suatu titel terendah dibawah gelar tertinggiku sebagai ketua osis. Akhirnya,
kuputuskan menggelar pendekatan untuk pertama kalinya sebagai pembuktian bahwa
aku bukan seorang pecundang dan menanggalkan gelar cupu yang disandang selama
bertahun-tahun itu.
*
Sebagai permulaan,
aku beralibi untuk mewawancarai Sasa, teman dekat Ina, yang ingin masuk anggota
osis. Aku sengaja mengundang Sasa ke ruang osis dengan wacana tes ilmu
pengetahuan umum dan sains. Ditemani Dita, yang juga menjabat wakil ketua osis,
aku membredelinya dengan berbagai pertanyaan umum seperti teori darwin, teori
relativitas, simbiosis mutualisme, big
bang, ibukota negara, lagu daerah dan hampir semua tidak dijawab dengan
benar olehnya.
Memang ini salah
satu strategiku memberikan pertanyaan sulit untuknya agar aku bisa masuk pada
inti pertanyaan, seperti : kamu teman
dekat Ina bukan? Seberapa tahu kamu mengenal sosok Ina? Coba kasih tahu saya kesukaan
Ina? Hal-hal apa saja yang dibenci Ina? Ina suka lelaki seperti apa? Apakah dia
sudah punya pacar? Hingga puncak pertanyaan, saya boleh tahu nomor handphone Ina?
Taadaa… hasilnya
pun terjawab semua, dan aku langsung menjabat tangan Sasa memberikan selamat
atas resminya dia bergabung menjadi anggota osis tahun ajaran baru sebagai
seksi olahraga, mungkin karena dia sedikit tomboy.
Dengan raut wajah
yang ragu, Sasa merasa senang telah resmi menjadi anggota osis sekaligus merasa
ganjil dengan wawancara yang absurd ini. Begitupun Dita, selama wawancara
berlangsung, Dita hanya melongo dan merasa tidak berkutik melihat polahku.
Alhasil, dia memprotes keras atas tindakanku yang meluluskan Sasa demi
kepentinganku sendiri. Aku tidak peduli. Dita pun merasa kesal dan
meninggalkanku sendiri di ruang osis, sementara aku tidak acuh dengan Dita,
sebab terlalu berbunga dengan keberhasilanku mendapatkan informasi mengenai Ina
untuk melancarkan strategi pendekatanku selanjutnya.
*
Berhasil
mendapatkan nomor handphone Ina, aku
mulai sibuk menyusun kata-kata puitis untuknya. Itupun berkat saran Dita. Menurut
pandangan Dita sebagai perempuan, umumnya perempuan menyukai hal-hal yang
berbau romantisme, seperti bunga, kejutan, candle
light dinner, juga puisi. Kebetulan reputasi tertinggiku adalah sebagai
pujangga terbaik tiga tahun berturut-turut di sekolah dalam perlombaan karya
sastra, jadi puisi pilihan terbaik untuk melakukan pendekatan awal.
“Wahai bidadari,
pesonamu bagaikan sinar rembulan. Kecantikanmu mengalahkan Cleopatra. Hingga
meluruhkan hatiku yang paling dalam. Siapakah dirimu dinda, dapatkah aku
mengenalmu jauh lebih mendalam?” Pesanku melalui SMS.
“Siapa ini?” Balas
Ina.
“Akulah sang pangeranmu.”
“Jangan bercanda
deh, siapa ini?”
“Baiklah dinda,
namaku Malwin.”
“Malwin yang mana
ya?”
“Kakak kelasmu,
kelas 3C.”
“Sorry, aku nggak kenal,” tegasnya
singkat. Setelah itu SMS-ku tidak lagi dia balas. Mungkin menurutnya tidak
penting meladeni orang asing. Tapi itu tidak membuatku gentar.
Untuk mensukseskan
strategiku, setiap hari di malam hari, aku tidak pernah absen mengiriminya
kata-kata puitis. Hingga sampai satu minggu berlalu, tak kunjung ada respon
darinya. Berpikir dan terus berpikir, akhirnya aku ingat sesuatu : list
kesukaan Ina. Strategi kedua pun dilancarkan.
Melalui list yang
ku buat tentang kesukaannya yang di dapat dari hasil wawancara Sasa, Ina sangat
menyukai basket. Sangat bertentangan sekali denganku yang tidak menyukai
olahraga. Namun cinta berkata lain, aku terpaksa mengikuti tim basket yang
membuat gempar satu sekolahan, termasuk guru olahraga killer, pak Edi. Dia sempat menanyaiku tentang kesungguhanku untuk
bergabung dengan tim basket, akupun menjawab mantap, “SANGGUP!” walaupun tidak
yakin bisa. Tapi cinta adalah perjuangan tanpa henti-henti, begitu kata Dewa 19.
Layaknya tentara
aku menjadi bulan-bulanan Edi killer yang
lantang mengomandoi, aku disuruh push up,
jumping, sit up, sprint, running 500 meter, dribbling, three points shot,
defending, hingga berasa rontok tulang
belulangku. Bahkan untuk sekedar jongkok pun harus merepotkan Dita karena
cedera otot. Kalau begini jadinya, bukan membuat Ina terkesan, tapi derita
buatku. Bisa-bisa, Ina ngacir melihatku yang letoy.
*
Kata orang, cinta
membuat orang gila. Awalnya aku menyangkal pernyataan itu dengan kata-kata
takabur yang disaksikan Dita, sahabatku. Layaknya proklamator, aku
memproklamirkan dengan lantang bahwa aku tidak akan pernah jatuh cinta apalagi
gila gara-gara cinta sebelum aku lulus kuliah dan melanjutkan pendidikan S2 ke
Jepang, bagiku itu mustahil. Mustahil bakalan gila gara-gara cinta. Tapi
semenjak itu, aku termakan kata-kataku sendiri. Cinta gila itu sekarang
menjalar hingga ke ubun-ubun otak. Sialnya, itu sudah terjadi dan tidak bisa
aku tarik kembali. Dita mengangkat bahu menampik atas permintaan tolongku
kepadanya.
“Maaf bung tidak
bisa, lanjutkan perjuanganmu sampai titik darah penghabisan,” tegasnya sambil
mengeloyor meninggalkanku.
Aku terpaku dengan
nasib cintaku yang muram. Buku strategi penggaet cinta yang aku beli di toko
buku kesayangan sudah tidak ada arti, beberapa tips yang diprint di internet termasuk wejangan Dita pun sudah tidak ada
gunanya lagi. Aku mulai goyah dan putus asa.
Berbulan-bulan
yang ku jalani di tim basket, ternyata tidak ada hasil. Permasalahannya, selama
itu aku tidak berani mendekatinya langsung. Terfokus membuat pesona dengan
mencoba menjadi pemain heroik di lapangan, tapi tak diliriknya sedikitpun. Hanya
buang-buang waktu dan tenaga.
Teringat akan
misiku di tim basket, dengan sedikit nyali namun besar kegilaanku kepadanya,
aku mencoba basa-basi dengannya. Tanpa ku sangka, ternyata dia merespon. Bukan
hanya cantik, ternyata dia rendah hati dan welcome
juga.
*
Setelah perkenalan
nekat, kita mulai saling membalas SMS, telepon-teleponan, bahkan tidak canggung
untuk jalan berdua. Meski begitu, aku merasa takut untuk menyatakan cinta.
Waktunya dirasa belum pas mengingat banyak kumbang yang menginginkan bunga. Ternyata
bukan hanya aku yang menyukai Ina, tapi banyak laki-laki yang menginginkan dia.
Termasuk Andi, teman baikku di tim basket. Terlebih, seringkali Ina merasa
risih karena banyak SMS dari laki-laki yang mengganggunya setiap malam.
Setiap malam? Apa
mungkin itu maksudnya aku? Karena aku tidak pernah absen mengirimi dia puisi.
Tapi dia tidak pernah tahu kalau sebenarnya itu aku, karena aku menggunakan
nama Malwin. Nama profil Friendster waktu itu. Tentu bukan namaku yang
sebenarnya, nama asliku Didi Ramadi. Hanya saja karena aku sering menjadi
pecundang, jadi aku ganti dengan nama Malwin, yang artinya Mari Lantangkan WIN
atau kemenangan dalam bahasa Inggris. Agak terkesan memaksa, tapi itu doa dan
harapanku.
Bahkan Ina tidak
segan menceritakan kekagumannya kepada Alex, ketua tim basket, terhadapku. Pantas
saja dia tak acuh kepadaku di lapangan. Dia teman satu kelasnya. Dia bilang,
dia jatuh cinta pada pandangan pertama ketika masa orientasi dulu. Dia adalah
cinta pertamanya. Apa bedanya denganku? Ina adalah cinta pertamaku. Mendengar
itu, tiba-tiba hatiku seperti ditusuk sebilah samurai yang dibeset hingga ke
ulu hati. Begitu menyayat hingga berlinang air mata menahan sakit. Berkali-kali
aku menutupi kemalanganku dengan berdalih kelilipan debu, sampai Ina
berinisiatif menjadi sukarelawan untuk menghembuskan napasnya hendak
menyingkirkan debu dari mataku. Aku menolak dan pamit dengan alasan membeli
obat tetes mata ke apotik.
*
Seminggu berlalu, aku tidak pernah lagi
menghubunginya. Galau. Namun, tiba-tiba Ina meneleponku. Dia mengajak aku untuk
bertemu di taman sekolah usai sekolah. Aku ditemani Dita menemui Ina yang
tampak bermuram durja. Mimik mukanya seperti menyimpan kekesalan yang
sewaktu-waktu bisa meledak dan meluluhlantakkan tanaman dan orang-orang
disekitarnya. Ada apa dengannya?
“Malwin?”
Sergahnya tiba-tiba.
“Hah?” Timpalku
tidak ngeh.
“Kamu Malwin kan?”
Celaka, kenapa dia bisa tahu itu aku. Apakah dia seorang indigo yang bisa tahu
masa depan juga, gumamku dalam hati. Aku terdiam membisu, tidak tahu harus
menjelaskan apa. “Aku tahu nama itu dari profil Friendster kamu,” terang Ina,
“Didi Malwin. Jadi yang setiap hari suka sms rayuan gombal itu kamu? Yang suka
gangguin aku setiap malam itu kamu juga? Kamu tahu, itu mengganggu sekali! Aku
nggak nyangka ya, ternyata kamu raja gombal paling gombal sejagat raya. Kamu
itu sama saja dengan laki-laki lain, penipu!” Tukas Ina dengan nada kecewa.
“Na. a, aku bisa
jelasin…”
“Nggak ada yang
perlu kamu jelasin,” potongnya, “kamu tahu, aku tidak suka laki-laki gombal
seperti kamu!” Aku masih tidak bisa berkata apapun, seperti tersendat dalam
kerongkongan. Padahal kata-kata itu sudah aku simpan dalam otakku. Tinggal
meluapkan saja. Tapi tak bisa. “Mulai detik ini, kamu jangan lagi SMS, telepon,
ataupun bertemu lagi dengan aku. Dan jangan pernah ganggu aku lagi!” Dengan
menitikan air mata, Ina berlalu meninggalkan aku yang mematung tertegun
memandang Ina pergi. Tanpa terasa mataku mulai menitikkan tangisan. Tangisan
pilu yang tiada kentara. Ina menyatakan sesuatu yang sulit aku terima.
.“Itu karena aku
sayang sama kamu, Ina,” desisku.
*
Aku mencoba
melupakan kejadian itu dan kembali tenggelam dalam tugas Aljabar yang tak
kunjung selesai. Setumpuk buku di atas meja dibuka satu per satu untuk mencari
referensi cara menjawab soal yang menjelimet. Berkali-kali aku garuk-garuk
kepala karena buntu akal untuk menjawab.
“Mau gue bantu?” Kata
suara perempuan yang tiba-tiba muncul dari arah belakangku. Aku terkejut
sekaligus takjub. Ada bidadari menghampiriku. Mataku menyelidik dari ujung kaki
hingga ujung kepala. Cantik. Itu… dia
Dita?
“E, elo Dita?”
Tanyaku meyakinkan. Dia tersenyum kecil.
“Ya iya, gue
Dita,” timpalnya terkekeh. Tanpa sadar, pandanganku tajam melihatnya. Dita
mengernyitkan dahinya. “Lo kenapa, Di?”
“Cantik,” gumamku
pelan.
“Sorry?” katanya tidak ngeh, agar aku
mengulangi ucapanku tadi.
“Oh nggak, tadinya
gue pikir lo…”
“Ina?” Sergahnya
memotong. Aku bergeming. “Gue emang ga secantik Ina. Tapi gue dandan buat lo,
supaya lo ga ingat terus sama dia,” ungkapnya. Kontan membuat aku terpingkal
mendengarnya sekaligus senang karena dia rela berkorban untukku. Melihat aku
yang asyik tertawa, tiba-tiba Dita manyun. Seketika tawaku terhenti merasa bersalah.
“Umm… ngambek.
Ntar luntur lho cantiknya,” godaku.
“Apaan sih!”
Tukasnya tersipu malu. “Di, gue boleh jujur ga?” Lanjutnya sedikit memasang muka
serius.
“Emang lo buat
kesalahan apa sama gue?” Candaku terkekeh.
“Iih… serius tau!”
Protesnya manja. “Gue sebenernya…” Dita menggigit lembut jari-jari tangannya, seperti
kebiasaannya ketika dia nervous.
“Sebenarnya gue suka sama lo, sebelum lo suka sama Ina,” gumamnya. Aku
tersentak. Pernyataan itu seperti listrik yang menyetrumku hingga memompa deras
darahku menuju jantung. Tapi perasaanku bahagia, ada sesuatu yang lega.
Bertahun-tahun dia
menungguku? Sebesar itu cinta Dita kepadaku? Akhirnya ku peluk hangat Dita.
Bodoh! Selama ini aku mengharapkan cinta kosong dari Ina. Jelas-jelas nyata di
depan mataku cinta yang luar biasa. Selama ini aku tidak menyadarinya. Ternyata
waktu menjawab segalanya.
Karya : Budi Won
Copyright © dilindungi undang-undang
Karya : Budi Won
Tidak ada komentar:
Posting Komentar