Breaking

Kamis, 30 Oktober 2014

Cinta di Pelupuk Mata

Layaknya tamu tak diundang, seketika ingatan itu muncul seakan merajamkan bayangan yang tak henti-henti meloading data dalam memori otakku secara random. Padahal, ingatan itu sudah aku kubur sedalam inti bumi yang solid permukaannya selama lima tahun. Tiba-tiba membuncah hanya karena seorang perempuan yang berperawakan kecil kurus dengan rambut pendek sebahu di dekat perpustakaan. Perempuan itu tengah berbincang dengan kedua temannya.

 Seperti dibelenggu bola besi layaknya pesakitan, kakiku seakan berat melangkah karena merasa enggan untuk berpapasan dengannya. Tapi tidak ada jalan memutar selain jalan yang akan aku lalui itu. Ingin rasanya aku urungkan niat untuk meminjam buku ke perpustakaan, tapi tugas kalkulus mendesak batinku untuk segera menyelesaikannya sebelum dikumpulkan pada kelas kedua siang nanti. Rasa kepepet akan tugas pun mengalahkan rasa takut terhadap perempuan yang dulu pernah menjadi pujaan hatiku itu. Akupun memantapkan langkahku dengan tergopoh seraya menyembunyikan mukaku di balik tas gendongku.
Brak! Aku menabrak tong sampah hingga memburakan isinya. Spontan, anak-anak disekelilingku menertawakanku tanpa ampun, bahkan ada yang terpingkal-pingkal melihat sampah plastik yang berhasil mendarat di kepalaku. Sementara perempuan itu, setengah celingukan mencari sumber kegaduhan diantara kerumunan orang yang asyik menertawaiku. Akupun gelagapan membereskan sampah yang berserakan ditambah malu tingkat dewa dan langsung bergegas masuk ke dalam perpustakaan.
*
            Kejadian tadi cukup membuat aku senewen sendiri dan membuyarkan konsentrasi untuk menjawab soal differensiasi implisit yang tak kunjung terisi satu soal pun. Disamping kurang paham dengan materi, di sisi lain sulit untuk menangkis bayang-bayang perempuan itu yang selalu menari-nari di benakku.
Semua ini bermula ketika aku menginjak kelas 3 SMP, ketika aku mengikuti drama perjuangan untuk memperingati hari pahlawan di sekolahan.
Waktu itu peranku sebagai ajudan raja dan ratu. Ketika pak Riki, guru matematika sekaligus pelatih drama, menyuruhku untuk mengambil kostum di ruang make up, tanpa sengaja aku menabrak adik kelasku yang selesai berdandan layaknya seorang ratu. Mataku terbelalak takjub hingga tidak berkedip sedikitpun, daya tarik yang luar biasa sampai-sampai tak kusadari pandanganku sulit kupalingkan bak medan magnet yang saling tarik menarik hingga dia berlalu meninggalkan bau parfum yang menggelayut di rongga hidungku.
Dia adalah Ina. Selama ini aku tidak menyadari kalau Ina adalah bidadari yang turun dari kahyangan, mozaik yang sempurna dari sang pencipta. Pemandangan luar biasa hingga membuat hatiku luruh dan melayang.
Bahkan saat pementasan digelar, dari awal hingga usai pementasan, tak henti aku memandangi Ina. Semenjak itu baru ku sadari kalau aku tengah memasuki masa pubertas dimana mulai tertarik terhadap lawan jenis, walaupun jauh tertinggal dari teman-temanku yang sudah mengenal pacaran dari kelas 5 SD. Karena itulah seringkali aku dijuluki “cupu” oleh teman-teman sekelas bahkan satu sekolahan, suatu titel terendah dibawah gelar tertinggiku sebagai ketua osis. Akhirnya, kuputuskan menggelar pendekatan untuk pertama kalinya sebagai pembuktian bahwa aku bukan seorang pecundang dan menanggalkan gelar cupu yang disandang selama bertahun-tahun itu.
*
Sebagai permulaan, aku beralibi untuk mewawancarai Sasa, teman dekat Ina, yang ingin masuk anggota osis. Aku sengaja mengundang Sasa ke ruang osis dengan wacana tes ilmu pengetahuan umum dan sains. Ditemani Dita, yang juga menjabat wakil ketua osis, aku membredelinya dengan berbagai pertanyaan umum seperti teori darwin, teori relativitas, simbiosis mutualisme, big bang, ibukota negara, lagu daerah dan hampir semua tidak dijawab dengan benar olehnya.
Memang ini salah satu strategiku memberikan pertanyaan sulit untuknya agar aku bisa masuk pada inti pertanyaan, seperti : kamu teman dekat Ina bukan? Seberapa tahu kamu mengenal sosok Ina? Coba kasih tahu saya kesukaan Ina? Hal-hal apa saja yang dibenci Ina? Ina suka lelaki seperti apa? Apakah dia sudah punya pacar? Hingga puncak pertanyaan, saya boleh tahu nomor handphone Ina?
Taadaa… hasilnya pun terjawab semua, dan aku langsung menjabat tangan Sasa memberikan selamat atas resminya dia bergabung menjadi anggota osis tahun ajaran baru sebagai seksi olahraga, mungkin karena dia sedikit tomboy.
Dengan raut wajah yang ragu, Sasa merasa senang telah resmi menjadi anggota osis sekaligus merasa ganjil dengan wawancara yang absurd ini. Begitupun Dita, selama wawancara berlangsung, Dita hanya melongo dan merasa tidak berkutik melihat polahku. Alhasil, dia memprotes keras atas tindakanku yang meluluskan Sasa demi kepentinganku sendiri. Aku tidak peduli. Dita pun merasa kesal dan meninggalkanku sendiri di ruang osis, sementara aku tidak acuh dengan Dita, sebab terlalu berbunga dengan keberhasilanku mendapatkan informasi mengenai Ina untuk melancarkan strategi pendekatanku selanjutnya.
*
Berhasil mendapatkan nomor handphone Ina, aku mulai sibuk menyusun kata-kata puitis untuknya. Itupun berkat saran Dita. Menurut pandangan Dita sebagai perempuan, umumnya perempuan menyukai hal-hal yang berbau romantisme, seperti bunga, kejutan, candle light dinner, juga puisi. Kebetulan reputasi tertinggiku adalah sebagai pujangga terbaik tiga tahun berturut-turut di sekolah dalam perlombaan karya sastra, jadi puisi pilihan terbaik untuk melakukan pendekatan awal.
“Wahai bidadari, pesonamu bagaikan sinar rembulan. Kecantikanmu mengalahkan Cleopatra. Hingga meluruhkan hatiku yang paling dalam. Siapakah dirimu dinda, dapatkah aku mengenalmu jauh lebih mendalam?” Pesanku melalui SMS.
“Siapa ini?” Balas Ina.
“Akulah sang pangeranmu.”
“Jangan bercanda deh, siapa ini?”
“Baiklah dinda, namaku Malwin.”
“Malwin yang mana ya?”
“Kakak kelasmu, kelas 3C.”
Sorry, aku nggak kenal,” tegasnya singkat. Setelah itu SMS-ku tidak lagi dia balas. Mungkin menurutnya tidak penting meladeni orang asing. Tapi itu tidak membuatku gentar.
Untuk mensukseskan strategiku, setiap hari di malam hari, aku tidak pernah absen mengiriminya kata-kata puitis. Hingga sampai satu minggu berlalu, tak kunjung ada respon darinya. Berpikir dan terus berpikir, akhirnya aku ingat sesuatu : list kesukaan Ina. Strategi kedua pun dilancarkan.
Melalui list yang ku buat tentang kesukaannya yang di dapat dari hasil wawancara Sasa, Ina sangat menyukai basket. Sangat bertentangan sekali denganku yang tidak menyukai olahraga. Namun cinta berkata lain, aku terpaksa mengikuti tim basket yang membuat gempar satu sekolahan, termasuk guru olahraga killer, pak Edi. Dia sempat menanyaiku tentang kesungguhanku untuk bergabung dengan tim basket, akupun menjawab mantap, “SANGGUP!” walaupun tidak yakin bisa. Tapi cinta adalah perjuangan tanpa henti-henti, begitu kata Dewa 19.
Layaknya tentara aku menjadi bulan-bulanan Edi killer yang lantang mengomandoi, aku disuruh push up, jumping, sit up, sprint, running 500 meter, dribbling, three points shot, defending, hingga berasa rontok tulang belulangku. Bahkan untuk sekedar jongkok pun harus merepotkan Dita karena cedera otot. Kalau begini jadinya, bukan membuat Ina terkesan, tapi derita buatku. Bisa-bisa, Ina ngacir melihatku yang letoy.
*
Kata orang, cinta membuat orang gila. Awalnya aku menyangkal pernyataan itu dengan kata-kata takabur yang disaksikan Dita, sahabatku. Layaknya proklamator, aku memproklamirkan dengan lantang bahwa aku tidak akan pernah jatuh cinta apalagi gila gara-gara cinta sebelum aku lulus kuliah dan melanjutkan pendidikan S2 ke Jepang, bagiku itu mustahil. Mustahil bakalan gila gara-gara cinta. Tapi semenjak itu, aku termakan kata-kataku sendiri. Cinta gila itu sekarang menjalar hingga ke ubun-ubun otak. Sialnya, itu sudah terjadi dan tidak bisa aku tarik kembali. Dita mengangkat bahu menampik atas permintaan tolongku kepadanya.
“Maaf bung tidak bisa, lanjutkan perjuanganmu sampai titik darah penghabisan,” tegasnya sambil mengeloyor meninggalkanku.
Aku terpaku dengan nasib cintaku yang muram. Buku strategi penggaet cinta yang aku beli di toko buku kesayangan sudah tidak ada arti, beberapa tips yang diprint di internet termasuk wejangan Dita pun sudah tidak ada gunanya lagi. Aku mulai goyah dan putus asa.
Berbulan-bulan yang ku jalani di tim basket, ternyata tidak ada hasil. Permasalahannya, selama itu aku tidak berani mendekatinya langsung. Terfokus membuat pesona dengan mencoba menjadi pemain heroik di lapangan, tapi tak diliriknya sedikitpun. Hanya buang-buang waktu dan tenaga.
Teringat akan misiku di tim basket, dengan sedikit nyali namun besar kegilaanku kepadanya, aku mencoba basa-basi dengannya. Tanpa ku sangka, ternyata dia merespon. Bukan hanya cantik, ternyata dia rendah hati dan welcome juga.
*
Setelah perkenalan nekat, kita mulai saling membalas SMS, telepon-teleponan, bahkan tidak canggung untuk jalan berdua. Meski begitu, aku merasa takut untuk menyatakan cinta. Waktunya dirasa belum pas mengingat banyak kumbang yang menginginkan bunga. Ternyata bukan hanya aku yang menyukai Ina, tapi banyak laki-laki yang menginginkan dia. Termasuk Andi, teman baikku di tim basket. Terlebih, seringkali Ina merasa risih karena banyak SMS dari laki-laki yang mengganggunya setiap malam.
Setiap malam? Apa mungkin itu maksudnya aku? Karena aku tidak pernah absen mengirimi dia puisi. Tapi dia tidak pernah tahu kalau sebenarnya itu aku, karena aku menggunakan nama Malwin. Nama profil Friendster waktu itu. Tentu bukan namaku yang sebenarnya, nama asliku Didi Ramadi. Hanya saja karena aku sering menjadi pecundang, jadi aku ganti dengan nama Malwin, yang artinya Mari Lantangkan WIN atau kemenangan dalam bahasa Inggris. Agak terkesan memaksa, tapi itu doa dan harapanku.
Bahkan Ina tidak segan menceritakan kekagumannya kepada Alex, ketua tim basket, terhadapku. Pantas saja dia tak acuh kepadaku di lapangan. Dia teman satu kelasnya. Dia bilang, dia jatuh cinta pada pandangan pertama ketika masa orientasi dulu. Dia adalah cinta pertamanya. Apa bedanya denganku? Ina adalah cinta pertamaku. Mendengar itu, tiba-tiba hatiku seperti ditusuk sebilah samurai yang dibeset hingga ke ulu hati. Begitu menyayat hingga berlinang air mata menahan sakit. Berkali-kali aku menutupi kemalanganku dengan berdalih kelilipan debu, sampai Ina berinisiatif menjadi sukarelawan untuk menghembuskan napasnya hendak menyingkirkan debu dari mataku. Aku menolak dan pamit dengan alasan membeli obat tetes mata ke apotik.
*
 Seminggu berlalu, aku tidak pernah lagi menghubunginya. Galau. Namun, tiba-tiba Ina meneleponku. Dia mengajak aku untuk bertemu di taman sekolah usai sekolah. Aku ditemani Dita menemui Ina yang tampak bermuram durja. Mimik mukanya seperti menyimpan kekesalan yang sewaktu-waktu bisa meledak dan meluluhlantakkan tanaman dan orang-orang disekitarnya. Ada apa dengannya?
“Malwin?” Sergahnya tiba-tiba.
“Hah?” Timpalku tidak ngeh.
“Kamu Malwin kan?” Celaka, kenapa dia bisa tahu itu aku. Apakah dia seorang indigo yang bisa tahu masa depan juga, gumamku dalam hati. Aku terdiam membisu, tidak tahu harus menjelaskan apa. “Aku tahu nama itu dari profil Friendster kamu,” terang Ina, “Didi Malwin. Jadi yang setiap hari suka sms rayuan gombal itu kamu? Yang suka gangguin aku setiap malam itu kamu juga? Kamu tahu, itu mengganggu sekali! Aku nggak nyangka ya, ternyata kamu raja gombal paling gombal sejagat raya. Kamu itu sama saja dengan laki-laki lain, penipu!” Tukas Ina dengan nada kecewa.
“Na. a, aku bisa jelasin…”
“Nggak ada yang perlu kamu jelasin,” potongnya, “kamu tahu, aku tidak suka laki-laki gombal seperti kamu!” Aku masih tidak bisa berkata apapun, seperti tersendat dalam kerongkongan. Padahal kata-kata itu sudah aku simpan dalam otakku. Tinggal meluapkan saja. Tapi tak bisa. “Mulai detik ini, kamu jangan lagi SMS, telepon, ataupun bertemu lagi dengan aku. Dan jangan pernah ganggu aku lagi!” Dengan menitikan air mata, Ina berlalu meninggalkan aku yang mematung tertegun memandang Ina pergi. Tanpa terasa mataku mulai menitikkan tangisan. Tangisan pilu yang tiada kentara. Ina menyatakan sesuatu yang sulit aku terima.
.“Itu karena aku sayang sama kamu, Ina,” desisku.
*
Aku mencoba melupakan kejadian itu dan kembali tenggelam dalam tugas Aljabar yang tak kunjung selesai. Setumpuk buku di atas meja dibuka satu per satu untuk mencari referensi cara menjawab soal yang menjelimet. Berkali-kali aku garuk-garuk kepala karena buntu akal untuk menjawab.
“Mau gue bantu?” Kata suara perempuan yang tiba-tiba muncul dari arah belakangku. Aku terkejut sekaligus takjub. Ada bidadari menghampiriku. Mataku menyelidik dari ujung kaki hingga ujung kepala. Cantik. Itu…  dia Dita?
“E, elo Dita?” Tanyaku meyakinkan. Dia tersenyum kecil.
“Ya iya, gue Dita,” timpalnya terkekeh. Tanpa sadar, pandanganku tajam melihatnya. Dita mengernyitkan dahinya. “Lo kenapa, Di?”
“Cantik,” gumamku pelan.
Sorry?” katanya tidak ngeh, agar aku mengulangi ucapanku tadi.
“Oh nggak, tadinya gue pikir lo…”
“Ina?” Sergahnya memotong. Aku bergeming. “Gue emang ga secantik Ina. Tapi gue dandan buat lo, supaya lo ga ingat terus sama dia,” ungkapnya. Kontan membuat aku terpingkal mendengarnya sekaligus senang karena dia rela berkorban untukku. Melihat aku yang asyik tertawa, tiba-tiba Dita manyun. Seketika tawaku terhenti  merasa bersalah.
“Umm… ngambek. Ntar luntur lho cantiknya,” godaku.
“Apaan sih!” Tukasnya tersipu malu. “Di, gue boleh jujur ga?” Lanjutnya sedikit memasang muka serius.
“Emang lo buat kesalahan apa sama gue?” Candaku terkekeh.
“Iih… serius tau!” Protesnya manja. “Gue sebenernya…” Dita menggigit lembut jari-jari tangannya, seperti kebiasaannya ketika dia nervous. “Sebenarnya gue suka sama lo, sebelum lo suka sama Ina,” gumamnya. Aku tersentak. Pernyataan itu seperti listrik yang menyetrumku hingga memompa deras darahku menuju jantung. Tapi perasaanku bahagia, ada sesuatu yang lega.

Bertahun-tahun dia menungguku? Sebesar itu cinta Dita kepadaku? Akhirnya ku peluk hangat Dita. Bodoh! Selama ini aku mengharapkan cinta kosong dari Ina. Jelas-jelas nyata di depan mataku cinta yang luar biasa. Selama ini aku tidak menyadarinya. Ternyata waktu menjawab segalanya.

Karya : Budi Won

Copyright © dilindungi undang-undang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar